Minggu, 27 Juli 2014

Unpredictable Love


"Wah, Vidi akan memulai konser tour keliling Indonesia bulan depan dan Jakarta menjadi tempat pertama konser itu dimulai."

"Apa tiketnya sudah dijual?"

"Belum, mungkin minggu depan."

Terdengar dua remaja perempuan sedang berbicang satu sama lain disebuah kedai kopi di pinggiran Kota Jakarta. Karena sudah malam dan sepi, suara mereka jadi terdengar memenuhi kedai. Di kedai hanya ada Hana yang sedang mengelap meja, Iqbal yang sedang menata gelas di meja barista yang berstatus sebagai pemilik kedai, dan dua remaja perempuan yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

Setelah puas berbincang dan menghabiskan cappuccino blend caramel mereka, dua remaja itu pergi. Tak sengaja Hana perhatikan, sejak mereka masuk ke kedai sampai mereka pergi, yang mereka bicarakan hanyalah Vidi, Vidi, dan Vidi. Hana sampai bosan mendengarnya. Bukannya Hana menguping pembicaraan gadis-gadis itu, tapi pantulan suara mereka lah yang memenuhi ruangan dan masuk ke indera pendengaran Hana. Siapa sih Vidi itu?

Setelah Hana selesai membereskan kedai, Hana duduk di depan meja barista. Memperhatikan boss nya yang sedang menata gelas-gelas kaca ke dalam etalase dengan hati-hati. Pantulan dari cahaya lampu membuat gelas-gelas itu tampak berkilauan seperti kristal.

"Iqbal, apa kau dengar apa yang dua orang tadi bicara kan?" Tanya Hana, setelah membalik tulisan buka menjadi tutup di sisi pintu.

"Iya, aku mendengarnya. Kenapa?" Iqbal masih sibuk dengan gelas-gelas berkaki langsing di tangannya, menjawab tanpa menoleh ke arah Hana.

"Ah, tidak, aku hanya penasaran siapa Vidi itu. Sepertinya dia terkenal sekali, ya."

"Kau tidak tahu siapa Vidi, Hana?" Jawab Iqbal kaget, matanya yang besar membulat melihat ke arah Hana.

"Tidak." jawab Hana. Dia memang tidak terlalu update dengan berita-berita terbaru. Dia terlalu sibuk sekolah, belajar, dan bekerja. Waktu senggangnya ia manfaatkan untuk mengerjakan latihan soal. Jadi dia tidak sempat untuk update berita terbaru, hanya sekedar bersantai dan menonton tv pun sulit. Banyak yang harus dia kerjakan.

Hana bekerja untuk membantu ibu dan membiayai sekolah adiknya yang kini duduk di bangku menengah pertama tingkat dua. Ayahnya yang tujuh tahun lalu berperan sebagai tulang punggung keluarga sudah pergi menghadap Tuhan karena sakit yang dideritanya. Selama itulah ibu Hana menjadi pedagang buah di pasar kota.

Tentu kalau hanya mengandalkan hasil berdagang buah saja tidak akan mencukupi. Hana yang sudah duduk dibangku menengah atas tingkat akhir perlu banyak biaya untuk meneruskan sekolah. Dan mewujudkan cita-citanya. Cita-cita yang sudah ia impikan sejak duduk di sekolah dasar tingkat akhir. Menjadi seorang arsitek.

Beruntung Hana memiliki sahabat yang sangat baik dan perhatian seperti Iqbal. Iqbal yang berhenti kuliah dua tahun yang lalu lebih memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan sebagai pemilik kedai kopi. Jadilah sahabatnya; Hana, direkrut untuk bekerja di kedainya. Karena Iqbal tahu betul kondisi Hana. Hana memperlukan banyak biaya untuk meneruskan sekolah ketingkat yang lebih tinggi dan mewujudkan cita-citanya. Dan Iqbal ingin membantu sahabat yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya ini.

Walaupun Iqbal lahir dua tahun lebih dulu dari Hana, tapi itu tidak membuat mereka canggung untuk menjadi sepasang sahabat. Berawal dari perasaan yang menggelitik setiap berpapasan di koridor saat mereka sama-sama di bangku sekolah dasar. Iqbal yang sudah duduk di tahun terakhir suka dengan Hana yang saat itu adalah adik kelasnya.

Tapi sayang, Hana masih terlalu kecil dan tidak bisa membalas perasaan Iqbal. Hana ingin mereka berdua cukup menjadi sahabat. Saat itu lah pertama kalinya anak kecil ingusan itu merasakan hatinya hancur karena cintanya ditolak. Tapi apalah arti mencintai kalau tidak bisa mengikhlaskan. Iqbal pun menuruti kata-kata Hana. Mulai sejak itulah mereka terikat sebagai sepasang sahabat yang saling mengisi satu sama lain. Bahkan Iqbal memperlakukan Hana seperti adik kecil yang selalu ia lindungi. Dan berlanjut sampai sekarang.

Walaupun begitu, perasaan Iqbal terhadap Hana tidak akan pernah berkurang. Perasaan cinta itu tetap ada. Masih tetap utuh. Mengakar sempurna di dada kiri.

"Vidi, Vidi Aldiano. Kau tidak tahu?" Tanya Iqbal sekali lagi.

"Tidak kakak Iqbal..."

"Dia itu penyanyi terkenal. Suaranya sangat khas sekali. Kakak ku saja tergila-gila dengannya." Jelas Iqbal. Kini mereka sudah duduk berhadapan satu sama lain. Hanya meja barista lah yang menjadi penghalang mereka berdua.

"Apa dia tampan?" Tanya Hana.

"Wajahnya... ya, lumayan lah.. tapi lebih tampan aku tentunya."

"Iya kah?"

"Tentu saja."

"Halah, bilang saja kau iri karena dua perempuan tadi lebih menyukai Vidi Aldiano daripada kau! Hahaha." Hana tertawa dikursinya.

"Yak! Apa kau bilang?!"

"Hahaha, ampun, boss! Hahaha." Tawa Hana makin lepas melihat ekspresi laki-laki berkulit gelap yang ada didepannya yang menurutnya lucu.

Entah lucu dari segi mananya, Iqbal juga bingung. Tapi apa kalian pernah mendengar kalau orang yang kesepian lebih mudah tertawa walaupun hanya dengan hal-hal kecil?

Iqbal tersenyum melihat tawa Hana. Paling tidak dengan tertawa, Hana bisa terhibur dan melupakan sejenak beban pikiran yang memenuhi otaknya.

Tok.. tok.. tok..

"Eh? Ada yang mengetuk pintu?" Tanya Hana setelah puas tertawa. "Biar aku lihat." Tambahnya sambil berdiri dari kursi depan meja barista.

"Eits.. biar aku saja." Sergah Iqbal yang sudah berjalan mendahuluinya. "Kalau ternyata dia orang jahat yang mau melukai mu bagaimana?"

Hana terdiam. Kembali duduk dikursinya. Menatap punggung tegap berbalut kemeja putih berkaki jenjang yang sedang berjalan menuju pintu.

Kaca transparan disisi-sisi ruangan yang berperan sebagai dinding sudah ditutupi tirai, lampu juga sudah dimatikan semua, kecuali lampu di meja barista dan di dapur. Apa ia lupa membalik tulisan buka menjadi tutup disisi pintu? Ah, sepertinya sudah. Tapi kenapa masih ada pelanggan?

"Maaf, kami sudah tutup." Kata Iqbal ramah pada laki-laki yang ada didepannya. Tubuh laki-laki itu lebih pendek beberapa sentimeter dari Iqbal. Ia mengenakan topi dan mantel yang hampir menutupi sebagian tubuhnya. Tangannya dimasukkan ke saku mantel. Lehernya dibalut syal hitam yang berfungsi untuk menyembunyikan sebagian wajahnya. Kalau saja tidak ada pantulan dari cahaya lampu jalanan, bisa saja Iqbal mengira kalau makhluk didepannya ini adalah hantu.

Dengan suara samar karena mulutnya tertutup syal, dia berkata, "Aku ingin membeli satu hot mocha." Kata laki-laki misterius itu.

"Kalau hanya satu, kami bisa buatkan. Dan sepertinya kami masih memiliki mocha. Mari masuk, akan saya buat kan." Kata Iqbal, mempersilahkan laki-laki misterius itu masuk dan duduk di dalam kedai.

"Siapa?" Tanya Hana, setelah Iqbal kembali dari salah satu meja dekat pintu dimana pelanggan misterius itu duduk.

"Entah." Jawab Iqbal sekenanya. Masuk ke dapur untuk membuat hot mocha. Tangan kurus Iqbal mulai sibuk meracik pesanan. Menuang bubuk mocha kedalam botol pengocok dan menuangkan air hangat dari dispenser kedalamnya. Setelah dikocok untuk menyampurkan bubuk mocha dengan air hangat, Iqbal menuangkan larutan mocha itu ke dalam hot cup. Menutup hot cup yang asapnya samar-samar terlihat mengepul diudara dengan penutup plastik. Lalu memasukkan hot cup kedalam pembungkus beserta pipetnya.

Saat Iqbal sibuk membuat hot mocha, pandangan Hana tertuju pada si pemesan hot mocha. Terlihat sangat misterius dan err... agak menakutkan. Tiba-tiba Hana teringat film horror yang ia tonton bersama adiknya saat liburan kenaikan kelas beberapa minggu lalu. Otaknya mulai memutar adegan-adegan menakutkan yang membuat tubuhnya bergidik.

Jangan-jangan orang itu adalah penyihir dari dunia kegelapan yang mau menyabotase kedai. Lalu dia akan menyekap Hana dan Iqbal untuk dijadikan tumbal pada roh jahat atau dia mau membunuh salah satu diantara mereka, mengambil organ tubuh mereka untuk dimakan. Huaaaaaaa. T_T

Iqbal keluar dari dapur membawa bungkusan berwarna coklat muda ditangan kanannya. Ia berjalan dengan santai menuju meja si pemesan hot mocha. Karena Hana takut terjadi apa-apa pada sahabat sekaligus boss nya ini, Hana berinisiatif untuk mengikuti Iqbal dari belakang. Untuk mencegah hal-hal buruk yang mengkontaminasi otaknya terjadi.

"Ini hot mocha pesananan Anda." Kata Iqbal. Hana yang ada dibelakang Iqbal mengintip laki-laki misterius itu dari balik punggung Iqbal.

"Terimakasih. Ini uangnya. Sisa uangnya kau berikan saja pada perempuan yang ada dibelakang mu itu, dan katakan padanya jangan melihat ku dengan tampang ketakutan seperti itu." Laki-laki itu pun pergi sambil membawa bungkusan coklat muda yang tadi Iqbal berikan.

Iqbal membalikan tubuhnya dan benar saja, ada Hana tepat dibelakangnya, "Kau ini kenapa, Hana?" Tanya Iqbal dengan nada agak khawatir. Menatap tepat pada manik hitam milik Hana yang indah menghiasi wajahnya yang tetap terlihat cantik walau hanya terpapar cahaya seadanya.

"Aku.. aku hanya takut." Jawab Hana. Wajahnya tertunduk.

"Sudah, sudah.. orang itu sudah pergi, jangan takut lagi, eum?" Iqbal menenangkan makhluk berparas cantik yang ada didepannya. Membawa tubuh mungil Hana kedekapan Iqbal. Memberi kehangatan ke tubuh masing-masing. Hanya sekedar untuk menenangkan.

Iqbal melepas pelukan mereka, mengangkat wajah Hana dengan jemarinya yang tegas, "Lebih baik kita pulang sekarang, aku akan mengantar mu sampai ke rumah. Okay?"

Hana membalas dengan anggukkan dikepala.


Hana duduk di jok belakang motor sport hitam milik Iqbal dengan si empunya yang duduk didepannya. Berjalan dengan kecepatan normal membelah jalanan Kota Jakarta. Gemerlap lampu-lampu dari kendaraan, lampu jalanan, dan gedung-gedung pencakar langit menghiasi kota malam itu.

"Iqbal?"

"Ya?"

"Aku baru menyadari sesuatu." Hana berucap, pikirannya menerawang ke kejadian di kedai tadi.

"Apa itu?"

"Di Indonesia kan tidak ada musim dingin. Dan lagi pula malam ini tidak terlalu dingin karena memang tidak hujan."

Iqbal tidak begitu mengerti maksud Hana yang tiba-tiba berkata seperti itu. Ia memilih untuk bertanya, "Iya, lalu?"

"Kenapa orang misterius tadi mengenakan mantel yang menutupi sebagian tubuhnya? Mengenakan syal? Juga topi? Disini kan bukan Jepang yang memiliki empat musim."

Iqbal mengerti, dia mulai menanggapi pendapat Hana, dengan memberi pendapatnya juga, "Ah, iya, benar. Indonesia kan hanya memiliki dua musim lagi pula sekarang sedang memasuki musim kemarau."

"Jangan-jangan dia teroris yang sedang menyamar?! Oh my God!" Kata Hana tiba-tiba, membuat si pembawa motor kaget. Tapi dia tidak menunjukannya secara langsung.

Iqbal berusaha untuk mem-positif-kan kembali pikiran anak kecil dibelakangnya ini yang mulai horror. -__- "Aih, tidak mungkin. Sudah jangan pikirkan pelanggan misterius itu. Lebih baik kencangkan pegangan mu, aku mau ngebut."

Hana menuruti kata-kata Iqbal. Ia mempererat pegangan tangannya pada jaket kulit yang Iqbal kenakan. Walaupun sebenarnya dia masih penasaran dengan orang yang ada dibalik syal yang hampir menutupi setengah dari wajahnya itu.


~(*
▽≦) (*▽≦) (*▽≦)~


Hana turun dari motor Iqbal, bergeser beberapa langkah untuk menghadap Iqbal. Memberi senyuman termanisnya sambil berkata, "terimakasih, kakak Iqbal."

Iqbal terkekeh melihat tingkah Hana yang menurutnya sangat menggemaskan, "iya, adik ku yang manis, seperti stroberi." Katanya sambil menyubit pelan pipi Hana.

"Stroberi? Manis? Stroberi itu asam, boss. Lebih baik, kurangi hobi minum cappuccino mu itu. Efeknya buruk sekali pada lidah mu."

"Hahaha, baiklah. Aku pulang dulu, ya? Sampaikan salam ku pada ibu mu. Bye." Iqbal mulai tancap gas. Meninggalkan Hana di depan gerbang rumahnya. Hana melambaikan tangannya ke arah Iqbal yang sudah pergi menjauh.

"Aku pulang." Teriak Hana saat memasuki rumah.

"Kakaaaakkk!!"

Hana menutup telinganya saat adik perempuannya ini menyambut dengan cara meneriakinya. "Kau ini kenapa sih?" Tanya Hana agak kesal.

"Minggu depan antar kan aku untuk membeli tiket konser Vidi Aldiano, ya, kak? Aku mohon." Katanya sambil menunjukkan puppy eyes-nya.

"Hani, kakak mu itu baru pulang, biarkan dia istirahat sejenak. Baru kau ajak dia bicara." Kata ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang Hani; adik Hana.

"Huuh, iya, bu. Sini aku bantu." Hani agak kesal dengan kata-kata ibunya. Dia pun mengambil paksa tas yang ada dibahu Hana. Niatnya sih ingin membantu meletakan tas Hana ke kamarnya.

"Hana, sana kau mandi, ibu akan potong kan buah untuk mu." Kata ibu sambil menunjukkan senyuman yang indah diwajah cantiknya yang sudah tidak lagi muda.

"Iya, bu." Hana membalas senyuman ibu. Mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.

Hana sudah mengenakan piyama berwarna baby blue. Duduk manis di meja belajar untuk mengerjakan tugas yang tadi diberikan guru fisikanya di sekolah. Jemari lentiknya mengambil garpu kecil yang ada disisi piring. Menusukkan potongan kiwi dan memasukkan kedalam mulutnya. Rasa asam kiwi membuat wajahnya mengernyit. Lalu ia menusukkan pipet bening ke susu kotak rasa stroberi yang ada disamping piring. Pipet itu yang menghubungkan bibir pink miliknya dengan cairan merah muda yang ada didalam kotak.

"Kakak." Tiba-tiba Hani masuk ke kamar Hana. Menggelayut manja dilengan kanan Hana yang sedang memegang susu kotak.

"Hmm?" Hana menjawab dengan gumaman. Masih sibuk meneguk cairan berwarna merah muda yang mengalir ke dalam mulutnya.

"Antarkan aku beli tiket konser, ya?" Kata Hani dengan suara yang super imut dan kedua mata yang mengedip-edip centil.

Hana meletakkan susu kotak yang masih berisi itu ke meja didepannya. Menoleh ke arah adik kecilnya. "Kapan?"

"Minggu depan, tepatnya hari jum'at."

"Jum'at? Bukannya kau harus sekolah? Lagi pula aku juga harus sekolah."

"Kita beli di sore harinya saja, kak. Setelah pulang sekolah." Hani mencari alasan, agar kakaknya ini mau meng-iya kan ajakannya.

"Tidak bisa, kakak harus bekerja." Jawab Hana lembut, sambil mengelus rambut panjang  sebahu Hani yang terurai begitu saja.

"Aish, apa boss mu itu tidak mengizinkan mu untuk bolos satu hari saja?" Protes Hani. Wajahnya berubah menjadi kesal.

"Tidak."

"Baiklah, aku akan protes pada boss mu! Mana handphone mu, akan aku telpon dia!" Hani menggeledah tas yang tadi Hana pakai saat bekerja. Mencari benda kecil super canggih yang bisa dibawa kemana-mana itu.

"Eh? Apa yang kau lakukan?! Sana-sana keluar dari kamar ku. Aku harus belajar." Sebelum Hani berhasil menemukan handphone Hana, ia lebih dulu berhasil mengambil tas yang ada di tangan Hani. Menggantungkan kembali tas berwarna putih tulang itu ke kepala ranjang. Mengarahkan Hani ke pintu kamarnya agar segera keluar.

"Kakaaakkk, antarkan akuuuu." Kata Hani diujung pintu. Tetap berusaha untuk membujuk kakak satu-satunya ini untuk mengantarkannya membeli tiket konser idolanya.

"Kakak tidak bisa, Hani."

Hani menyerah. Ternyata kakaknya ini benar-benar tidak bisa diajak idoling. "Ya sudahlah, aku pergi bersama teman ku saja." Hani pun pergi ke kamarnya.

"Hani, Hani.." Hana menggeleng dan terkekeh melihat tingkah adik satu-satunya itu. Diumur seusia Hani ini memang masa-masanya pubertas.

Hana kembali duduk di meja belajarnya. Ditemani sepiring buah yang dipotong oleh sang ibu dan susu stroberi yang menyisakan setengah dari sebelumnya. Ia meneruskan mengerjakan soal-soal mematikan yang diberikan guru fisikanya.


~(*
▽≦) (*▽≦) (*▽≦)~


Sore itu hujan mengguyur lebat Kota Jakarta. Banyak orang mendatangi kedai. Niatnya hanya untuk menghindari butiran-butiran air yang berasal dari langit itu. Tapi aroma khas kopi yang menyeruak masuk ke indera penciuman saat pertama kali membuka pintu kedai membuat yang berteduh tidak bisa menahan diri untuk tidak memesan minuman berrasa dasar pahit itu. Walau hanya secangkir. Ya, sekedar untuk menghangatkan tubuh mereka karena suhu di luar yang cukup dingin.

Hana yang datang beberapa menit sebelum hujan, segera mengganti seragam sekolahnya menjadi seragam kerja. Melihat kedai yang cukup ramai, Hana langsung menyambar minuman-minuman berbahan dasar kopi itu dengan nampan. Berjalan menjajahkan pesanan dari meja ke meja bersama Ical yang juga berprofesi sama sepertinya.

"Wah, hujan makin deras saja. Kapan aku bisa pulang?" Gerutu Ical yang berdiri didepan meja barista. Ada Iqbal juga disana.

"Sabar.. sana ganti baju mu. Shift mu kan sudah habis." Kata Iqbal. Shift kerja Ical memang sudah habis sejak lima menit yang lalu. Dan sekarang ganti Hana yang bekerja. Mondar-mandir mengantarkan pesanan. Lagi pula di luar masih hujan. Lebih baik tinggal sejenak dan membantu boss nya yang sedang kebanjiran pelanggan ini. Pikir Ical.

"Nanti saja lah, kalau hujan sudah mereda dan orang-orang ini pergi." Jawab Ical sambil mengayunkan tangannya ke orang-orang yang sedang menikmati sensasi cairan kental melumer dilidah mereka dari minuman yang Iqbal buat.

"Ya, terserah kau saja."

Setelah Hana meletakan gelas terakhir yang ada dinampannya ke meja pelanggan, Hana berjalan kembali ke meja barista. Tapi tiba-tiba pupil matanya tak sengaja menangkap sosok yang tidak asing baginya. Terlihat dari kaca dalam kedai, orang itu berjalan mengenakan payung biru tua mendekati kedai. Dengan mantel dan topi yang sama seperti malam itu. Hanya saja, kali ini tidak ada syal yang melilit lehernya. Walau begitu, tetap saja wajahnya tidak kelihatan. Ia mengenakan masker dan kaca mata hitam. Hana segera menemui Iqbal yang sedang berbincang dengan Ical.

"Iqbal, Iqbal, lihat!" Kata Hana, tangannya menunjuk ke orang yang pernah memesan hot mocha satu minggu lalu padahal saat itu kedai sudah tutup.

Iqbal mengikuti arah kemana tangan Hana menunjuk, "Ah? Dia?" Iqbal coba mengingat sejenak. "Orang misterius waktu itu kan?" Tanya Iqbal meyakinkan.

"Iya. Dia datang lagi."

"Dia? Dia siapa?" Ical yang penasaran, mengikuti arah pandangan Hana dan Iqbal.

Orang misterius itu masuk ke kedai. Melihat sekeliling untuk mencari tempat duduk yang sekiranya masih kosong. Dapat! Tepat disudut ruangan. Setelah mendudukan tubuhnya di sofa berwarna marun, dia melambaikan tangan ke arah meja barista. Ical yang bingung melihat rekan kerja dan boss nya ini lebih memilih untuk mendatangi orang -yang katanya- misterius itu.

"Mau pesan apa, Tuan?" Tanya Ical ramah. Bersabar menanti jawaban pelanggan yang ada didepannya ini. Tangan kanannya sudah siap mencatat pesanan sang pelanggan.

"Berikan aku yang hangat. Cuaca hari ini sangat buruk." Jawabnya. Cuaca hari ini memang buruk. Dari pagi sampai siang cuaca cerah dan sangat memberi kesan semangat. Tapi mulai menjelang sore, cuacanya berubah menjadi gelap, hujan turun begitu saja, bahkan petir juga ikut bersahut-sahutan menghiasi langit sore yang gelap ini.

"Oh, baik, Tuan. Ada lagi?"

"Mungkin sepotong kue coklat bisa menemani ku pada langit sore yang sedang menangis ini."

Ical menulis pesanan dengan cepat, mengulang kembali pesanan laki-laki dengan masker yang menutupi wajahnya ini, "satu minuman hangat dan sepotong kue coklat. Baik, tunggu sebentar, Tuan."

"Tak apa, aku tidak terburu-buru."

Sebelum Ical beranjak pergi untuk melaporkan pesanan, orang itu kembali memanggil Ical. "Aku mau dia yang mengantarkan pesanan ku." Bisiknya sambil melihat kearah Hana.

"Permisi, Tuan. Ini satu espresso hangat dan sepotong kue coklat pesanan Anda." Kata Hana setelah meletakan minuman dan makanan itu keatas meja. Hana sudah tidak takut lagi pada orang misterius ini. Dia menganggap orang ini adalah pelanggan biasa sama seperti yang lain.

Hana baru mau beranjak pergi, tapi pergelangan tangannya ditahan oleh orang misterius itu. Kaget dan bingung menyelimuti pikiran Hana. "Jangan pergi. Duduk, dan temani aku disini." Katanya.

"Maaf, tapi saya harus bekerja." Hana berusaha melepas genggaman orang itu. Tapi ternyata kekuatan Hana tidak sebanding dengan kekuatan orang misterius itu.

"Sebentar saja. Lagi pula, boss mu tidak akan marah." Katanya. Sekilas Hana melihat ke meja barista dimana ada Iqbal dan Ical disana. Melihat kearah Hana dengan wajah khawatir menyelimuti mereka. Terutama Iqbal.

Hana menyerah. Dia pun duduk di kursi berhadap-hadapan dengan orang yang -mungkin- sama sekali ia tidak kenal. Rasanya agak aneh memang.

"Aku hanya ingin memberikan ini untuk mu." Kata orang misterius itu. Menyodorkan amplop berwarna coklat muda kehadapan Hana. "Terimalah. Aku harap kau akan datang. Dan kau akan tahu siapa aku." Tambahnya.

Hana menerima amplop yang ada dihadapannya. Dia penasaran dengan isi amplop itu. Sebelum ia sempat membukanya, tiba-tiba orang itu menghentikannya. "Jangan lihat disini. Nanti saja saat kau sudah di rumah."

Hana mengangguk meng-iya kan. Terlihat jelas kebingungan di wajah Hana. Kemudian ia memasukan amplop itu ke saku apronnya. Karena ia pikir amplop itu berisikan hal yang penting dan rahasia.

"Sekarang kau boleh pergi, Hana."

Kekagetan Hana bertambah saat orang misterius itu memanggil namanya. Padahal para pekerja di kedai ini tidak ada yang memakai name tag. Termasuk Hana. Tapi dari mana orang itu tahu nama Hana? Hana ingin bertanya tapi niatnya ia pendam dalam-dalam. Entah, berhadapan dengan orang ini membuatnya risih. Lebih baik ia segera pergi.

"Kau baik-baik saja, Hana?" Tanya Iqbal saat Hana berjalan melewati meja barista. Memasuki dapur untuk meminum segelas air dari sana. Dia bingung, kaget. Kepalanya pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia buat sendiri dikepalanya.

"Aku baik-baik saja."


~(*
▽≦) (*▽≦) (*▽≦)~


Malam sudah menyelimuti langit Kota Jakarta. Hujan tadi sore masih menyisakan buliran-buliran air yang menempel pada benda-benda yang dikenainya. Udara malam jadi terasa lebih dingin dari biasanya. Membuat orang-orang harus lebih mengeratkan jaket mereka.

Hana dan Iqbal masih ada di kedai. Waktu tutup masih kurang 30 menit lagi, tapi waktu seakan berjalan lamban sekali. Membuat bosan kedua anak muda yang sama-sama meletakan kepalanya diatas meja ini.

"Hana?" Suara tegas Iqbal terdengar memecah keheningan.

"Ng?"

Iqbal yang sudah mengangkat kepalanya, bertanya pada Hana, "Tadi kau bicara apa saja dengan orang misterius itu?"

Sekarang giliran Hana yang mengangkat kepalanya, menjawab pertanyaan Iqbal, "Tidak ada. Dia hanya memberi ku ini." Jawabnya sambil mengeluarkan amplop coklat muda dari apronnya.

"Apa itu?"

"Entahlah. Aku belum membukanya"

"Kalau begitu, sini aku buka." Iqbal mengambil amplop yang Hana pegang. Penasaran, ingin tahu apa isi amplop pemberian dari orang misterius itu.

Sebelum Iqbal berhasil membuka amplop itu sudah ada lagi di tangan Hana, "Eits, dia bilang aku harus membukanya di rumah."

"Dan kau menurutinya?"

"Tentu. Mungkin karena ini rahasia."

"Sudah, buka sekarang saja."

"Tidak bisaaaa. Nanti saja saat aku sudah membuka ini di rumah, aku akan segera menghubungi mu." Kata Hana. Kini ia meletakkan amplop itu di saku celananya.

"Kalau begitu, ayo kita pulang sekarang!"

"Eh? Tapi kan masih 20 menit lagi sebelum jam tutup."

"Tapi kan aku boss nya. Sudah cepat ambil tas mu, kita pulang sekarang."



Sesampainya di rumah, Hana langsung masuk ke kamarnya. Mengunci pintu dari dalam lalu merebahkan tubuhnya keatas ranjang. Hana mengambil amplop yang ada di saku celananya. Membuka amplop itu.

"Tiket nonton? Besok?" Ternyata amplop coklat muda itu berisi tiket nonton di bioskop. Ada surat juga didalamnya.

Temui aku besok di taman kota. Kita akan pergi bersama-sama ke bioskop.

Hana langsung menelpon Iqbal. Tanpa harus menunggu lama, Iqbal sudah mengangkat panggilan dari Hana.

"Dia mengajak ku nonton besok. Dan aku disuruh menemuinya di taman kota."

"Aku akan mengikuti mu."


~(*
▽≦) (*▽≦) (*▽≦)~


Hana duduk sendiri dibangku taman. Sudah menunggu orang yang seharusnya datang lebih dulu darinya sekitar satu setengah jam. Ingin rasanya dia pulang dan mengerjakan pr biologi yang sudah menantinya di rumah.

"Maaf aku terlambat." Kata suara berat seseorang yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. "Ini untuk mu." Tambahnya sambil memberikan bunga mawar merah pada Hana.

Hana menerimanya, dan berkata, "Sebenarnya siapa diri mu?" Tanya Hana.

"Kau tahu siapa aku, tapi kau tidak pernah berusaha untuk mengingat ku." Jawabnya. Terdengar lirih dan menyakitkan.

"Apa maksud mu?"

"Apa maksud ku? Hah- kau terlalu sibuk bermesraan dengan laki-laki itu. Membuat mu buta akan keadaan sekitar. Padahal hubungan kalian hanya sebatas sahabat bukan?"

"Laki-laki itu? Iqbal maksud mu?"

"Jangan sebut namanya. Aku jijik mendengar nama itu. Bertingkah manis didepan mu dan memamerkannya pada orang-orang. Menjijikkan!"

"Cukup! Hentikan semua omong kosong mu itu! Siapa kau sebenarnya?!" Teriak Hana. Rasanya pandangan matanya sudah memburam. Tertutup genangan air yang bisa tumpah kapan saja.

Orang misterius yang selama ini tidak pernah menunjukkan wajahnya itu, mulai membuka kedoknya. Melepas topi, mantel, dan masker yang ia kenakan. "Sekarang kau tahu siapa aku?" Katanya diiringi dengan tangan kanan yang membuka kaca mata hitam yang bertengger dihidung bangirnya. Kemudian melempar kaca mata itu begitu saja.

Mata Hana terbelalak melihat sosok yang ada didepannya. Hana kenal siapa dia. Dia adalah temannya saat duduk di sekolah menengah pertama. "Aldo?"

"Syukurlah, kau masih mengingat ku." Orang yang bernama Aldo itu berjalan mendekati Hana yang terlihat kaget. Aldo hanya menyeringai. Ekspresinya sangat menakutkan. Hana tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam dan mematung ditempat.

"Sekarang kau sudah ada ditangan ku, Hana. Aku akan membawa mu. Membawa mu kepelukan ku dan melupakan laki-laki itu."

Hana tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang sudah tumpah membasahi pipi mulusnya lah yang tahu apa yang sebenarnya Hana rasakan sekarang.

Aldo berdiri tepat didepan Hana. Membawa wajah Hana mendekat ke wajahnya. Aroma mint menyeruak ke hidung Hana saat Aldo berkata, "izin kan aku--"

Buagh!

Belum sempat Aldo meneruskan kalimatnya, pukulan sudah mendarat begitu saja disudut bibir Aldo. Membuat bercak darah muncul dari sana. Aldo yang tersungkur ke tanah tidak terima dengan pukulan yang Iqbal berikan padanya. Ia pun membalas pukulan Iqbal tepat diperut Iqbal. Iqbal kembali membalas pukulan Aldo dibagian perut secara bertubi-tubi. Hingga Aldo melemah dan Iqbal pun menghempaskan tubuh Aldo begitu saja ke tanah.

Semuanya sudah terlambat. Iqbal sudah membawa Hana pergi dari taman. Meninggalkan Aldo sendirian yang sedang merintih menahan sakit diperutnya. Suaranya terdengar lirih memanggil nama seseorang yang selama tidak tahu kalau dia mencintainya,

"H-Hana.."


~(*
▽≦) (*▽≦) (*▽≦)~


Seseorang berjalan gontai menyusuri tangga disebuah apartemen. Sambil sesekali merintih menahan sakit diwajah dan perutnya. Kakinya tertatih menaiki satu persatu anak tangga yang membawanya ke bagian paling atas apartemen.

Angin malam menghembus lembut menyapa laki-laki berkulit putih itu saat ia sampai dibagian paling atas apartemen. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Masa saat ia dan Hana masih mengenakan seragam putih biru. Sesekali senyum terukir diwajahnya yang oriental jika mengingat masa-masa itu. Tapi wajahnya berubah menjadi penuh dengan ke bencian saat mengingat laki-laki yang selalu melindungi Hana itu.

Aldo menatap nanar ke bawah. Sudah cukup dia merasakan sakit karena memendam cinta. Rasa sakit yang menyayat hati ini membuat ia kehilangan akal sehatnya. Ia rela tidak ikut orang tuanya pergi ke Jepang hanya untuk mencari Hana. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Orang tua Aldo tewas karena kecelakaan pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya untuk pergi Jepang.

Aldo sudah bertindak terlalu jauh. Terlalu sakit merasakan jatuh cinta diam-diam yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun. Sampai harus mengorbankan orang yang sangat berjasa dalam kehidupannya.

Aku yang terlalu pengecut untuk menyatakan cinta.
Aku yang terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaan.
Aku yang terlalu pengecut untuk menerima kenyataan.
Dan aku.. hanya seorang pengecut yang terus memendam cinta.

Aldo merutuki dirinya sendiri. Dia sudah bingung harus berbuat apa dan mencari alasan apalagi untuk tetap bertahan menahan rasa cintanya pada Hana. Dia sudah tidak kuat menahan sakit batin yang menyiksanya ini. Apa gunanya rasa sakit yang menyayat hati ini jika orang yang kau cintai tidak mengetahuinya?

Biarkan aku dengan fantasi ku bersama mu, merasakan pahitnya kisah cinta yang aku alami.

Aldo membiarkan tubuhnya terhempas begitu saja dari lantai atas apartemen. Membiarkan tubuhnya menghantam aspal agar dia tidak lagi merasakan sakit dihatinya. Mengakhiri penderitaan batin dengan cara mengakhiri hidup. Anak yang malang.

"Aldo!!"

Suara itu... "Hana..?"


 
-FIN-



:)

Jumat, 27 Juni 2014

FF SHINee: Because of You [part 1]


Tittle:  Because of You

Author: kimchlee

Genre: friendship, family, romance

Cast: Kim Kibum, Choi Minho, Miku Hatsune

A/N.: setelah sekian lama hiatus bikin ff akhirnya berhasil menelurkan karya baru #halah. just enjoy it yes! oiya jangan lupa komen yaaa, kalo gak bisa komen disini diHARAPKAN untuk kirim komen kalian dengan cara mention ke sini.

 
 
HAPPY READING!! ^^




..~**~..


 


"Hoamh- pagi."

"Hei, kau bangun lebih awal pagi ini."

"Ah, kau saja yang bangun lebih siang."

"Mwo? Hei, tunggu aku!"


Perkenalkan mereka adalah Kibum dan Minho. Dua namja yang sudah sejak kecil bersahabat. Mereka sekarang tinggal bersama disalah satu apartment. Selain untuk menghemat biaya karena mereka sudah tidak tinggal bersama orang tua mereka lagi, mereka juga harus menghemat agar bisa membeli kebutuhan sehari-hari dan sengaja mereka memilih apartment yang tidak terlalu jauh dari kampus agar tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi. Lahir hanya berjarak tiga bulan membuat mereka sudah seperti hyung-dongsaeng. Kibum lahir lebih dulu dari Minho tapi bisa dibilang Minho lah yang lebih cocok menjadi hyung-nya Kibum. Sikap Kibum yang masih seperti anak-anak ini lah yang membuat Minho harus super sabar berhadapan dengan sahabat yang sudah Ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Mereka sekarang kuliah di Valleiqz University, merupakan salah satu universitas ternama di Korea Selatan yang mengajarkan tentang kesenian. Kibum yang memiliki bakat di seni lukis lebih memilih program pendidikan art, design and graphics, sementara Minho lebih memilih program pendidikan art and theatrical.


"Hari ini aku akan menyelesaikan tugas di kampus, mungkin aku akan pulang telat malam ini." Suara berat Minho memecah keheningan jalanan pagi itu. Masih belum banyak orang yang berlalu lalang, mungkin karena masih pukul 7 pagi. Disaat orang-orang masih berbalut selimut halus diatas kasur empuk dan hangat, Kibum dan Minho sudah harus pergi ke kampus karena ada mata kuliah pagi dan kuis di siang harinya. Tapi tidak untuk Minho.


"Pulang lah sesuka mu selagi aku belum mengganti password pintu apartment." Jawab Kibum yang matanya dari tadi hanya fokus dengan buku tebal ditangannya tanpa menghiraukan Minho yang ada di sampingnya. Sebenarnya buku itu adalah buku materi kuisnya siang ini. Walaupun Ia sudah meringkasnya tapi tetap saja harus dibaca bukan. Ya begitulah Kibum dengan sikapnya yang tampak acuh, tapi sebenarnya dia orang yang sangat baik dan perhatian. Setidaknya menurut Minho.


"Masih pukul 7.15, ayo kita sarapan, aku lapar." Ajak Minho. Mereka pun memasuki sebuah kedai ramen di pinggir jalan yang buka 24 jam. Bisa dibilang kedai ini lah yang menjadi saksi bisu masa sulit Kibum dan Minho. Masa sulit? Yap, ada saat-saat dimana orang tua mereka belum mengirimkan uang atau uang mereka tidak cukup untuk satu bulan, disinilah mereka mengisi perut mereka. Terdengar miris tapi ya memang ini yang mereka mau. Mereka sama-sama ingin hidup mandiri tanpa merepotkan orang tua. Sebenarnya orang tua Kibum dan Minho ini cukup berada. Orang tua mereka adalah rekan bisnis satu sama lain sejak mereka kecil, karena orang tua mereka yang sibuk kadang mereka dititipkan di tempat penitipan anak yang sama. Nah, bisa dibayangkan kan mengapa mereka bisa bersahabat dari kecil hingga umur mereka yang sama-sama genap berusia 24 tahun. Penjual ramen disini juga sudah hapal dengan wajah mereka berdua.


Setelah mendapatkan tempat yang cocok, mereka pun memesan ramen, "Ommonim, dua mangkuk ramen seperti biasa." Teriak Minho.


"Minho? Kibum? Tidak biasanya kalian datang pagi seperti ini." Ommonim yang tiba-tiba keluar dari balik tirai menggunakan apron putih polos dan bandana warna pastel ini kaget melihat dua namja langganannya.


"Ne, Ommonim, kita berdua hari ini ada kelas pagi. Padahal aku masih mengantuk, hoamh-" Jawab Kibum yang sejak tadi sudah meletakkan bukunya di atas meja. Melepas kaca mata frame hitam yang sedari tadi menghiasi wajahnya. Memijat pelipisnya sebentar untuk menghilangkan rasa tegang dimatanya.


"Aiguu, aiguu, ini dua mangkuk ramen spesial untuk kalian agar kalian lebih semangat untuk menjalani hari ini. Ayo, ayo dimakan." Ommonim menaruh dua mangkuk ramen yang uapnya masih mengepul di atas meja. Ramen kali ini memang terlihat spesial karena ada potongan daging diatasnya, nyam~


"Waaaahhhh, terimakasih, Ommonim. Selamat makan~" kata Kibum dengan mata berbinar. Buku yang sedari tadi menarik perhatiannya kini Ia lupakan dan sekarang lebih tertarik dengan mangkuk berisi ramen di depannya. Minho juga sudah sibuk menyantap ramen spesial bikinan Ommonim.



..~**~..



"Huaahhh- hari yang melelahkaaaannn." Kibum meregangkan tubuhnya diatas sofa, rasanya ingin sekali melepas anggota gerak tubuhnya yang sekarang terasa sangat pegal. Kuliah pagi ini sangat membosankan bagi Kibum. Kalau saja mata kuliah itu bukan mata kuliah wajib ingin rasanya Ia tidak masuk pagi ini. Setelah rasa capek dan pegalnya agak menghilang, Kibum pun memutuskan untuk mandi agar tubuhnya bisa lebih rileks. Selesai mandi, Ia sudah mengenakan piyamanya kembali duduk diatas sofa, menyalakan tv, dan menggambar asal di sketch book-nya. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 10 malam dan Minho belum juga pulang. Kemana dia? Kibum mulai khawatir karena setelat-telatnya mereka pulang tidak pernah sampai lewat jam 9 malam lagi pula kampus ditutup jam 8 malam dan apartment mereka juga dekat dengan kampus. Ia mulai mencoba menghubungi ponsel Minho.


"Yoboseyo?"


"Yah! Mino-ya! Dimana kau?"


"Aku didepan pintu apartment, ada apa?"


"Hng?-" Kibum berlari menuju pintu apartment, tak lama kemudian pintu pun terbuka, menyebulkan kepala Minho terlebih dahulu disusul anggota tubuhnya yang lain. Minho tidak menyadari keberadaan Kibum di depannya.


"Hm? Kau menunggu ku sambil berdiri disini sejak tadi?" Tanya Minho dengan polosnya sambil melepas sepatu snicker dan kaus kakinya. Kibum tidak menanggapi pertanyaan Minho, Ia malah mengalihkan pembicaraan, "apa kau lapar? Aku buat kan makanan." Lalu pergi meninggalkan Minho.



..~**~..




Di meja makan tak ada diantara mereka berdua yang memulai pembicaraan. Yang terdengar saat itu hanyalah dentuman sumpit stainless dengan mangkuk nasi mereka dan tentunya detikan jam. Minho tahu maksud dari kesunyian ini, Kibum sedang marah padanya. Sekarang dikepala mereka masing-masing sedang mencari topik yang pas untuk membunuh ke-awkward-an yang mereka ciptakan sendiri.


"Ya, mino-ya.."


"Kibum-ah.."


"Kau saja yang duluan"


"Kau saja, kau yang lebih dulu memanggil ku kan"


Kibum menghela napas berat kemudian tersenyum seakan sedang membayangkan sesuatu. "Mino, sepertinya aku jatuh cinta.." kembali tersenyum sambil menutup wajahnya yang sekarang terlihat merah padam. "Aku baru saja melihatnya siang ini dan itu cukup membuat jantung ku bekerja tidak normal!" Tambahnya lagi.


"Jinjja? Siapa yeoja yang sudah mencuri hati mu? Haha" Minho agak terkejut dengan pernyataan sahabatnya ini. Selama persahabatan mereka, Kibum belum pernah menyukai yeoja sampai seperti ini apalagi ini jatuh cinta pada pandangan pertama dan Kibum juga bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta.


"Dia anak fakultas seni musik dan permainan violinnya sangaaaattt indah, wajahnya juga cantik, kulitnya putih segar dan terlihat terawat, rambutnya juga panjang, sepertinya dia anak schoolarship dari Jepang." Jelas Kibum sambil membayangkan yeoja yang sedang Ia kagumi saat ini.


"Apa kau berkenalan dengannya?" Tanya Minho sambil menyuap tofu ke dalam mulutnya.


"Tentu saja! Aku berkanalan dengannya, berjabat tangan dengannya, rasanya seperti aku berjabatan dengan tangan malaikat! Tangannya sangat halus!" Jelas Kibum lagi.


"Siapa namanya?"


"Miku, Miku Hatsune." Jawab Kibum malu-malu.


Minho hanya mengangguk-angguk, "oh.. ngomong-ngomong soal yeoja, hari ini aku juga bertemu dengan yeoja cantik tapi aku tidak tahu siapa namanya, aku juga tidak tahu dia dari fakultas mana." Kini giliran Minho yang bicara.


"Secantik apa dia?" Tanya Kibum sambil menyuap gumpalan nasi ke dalam mulutnya.


"Sulit untuk dideskripsikan, yang jelas dia juga sepertinya pindahan dari Jepang. Wajahnya oriental sekali." Terang Minho. Kibum mengangguk mengerti. Suasana kembali hening, mereka kembali sibuk dengan makanan mereka masing-masing yang sudah hampir habis.


"Hmm, bagaimana kalau kita bersaing?" Tawar Kibum yang sudah selesai menghabiskan makan malamnya.


Minho membulatkan matanya, "bersaing?" Seketika firasat buruk mulai menghantuinya.


"Yup! Siapa yang bisa mendapatkan yeoja yang kita impikan itu duluan akan ditraktir makan selama sebulan penuh!" Kata Kibum dengan yakin. Dia memang suka makan, makanya dia berharap semoga dia bisa memenangkan persaingan ini. Lumayan kan uang makan untuk satu bulan bisa Ia pakai untuk membeli kuas dan pewarna baru.


Benar saja firasatnya kali ini, "ah, tidak-tidak. Aku pasti kalah, kau saja sudah mengambil start duluan. Kalian berdua sudah saling mengenal, sudah tahu satu sama lain, sedangkan aku? Mungkin dia belum pernah melihat ku sebelumnya." Jawaban Minho terdengar putus asa. Siap-siap saja dia mengikat ikat pinggang lebih kencang selama satu bulan kedepan.


"Yah! Jangan bicara seperti itu!" Kata Kibum sambil memukul pelan lengan Minho. "Kau tampan, pasti yeoja impian mu itu akan takluk pada mu!" Ucap Kibum mencoba untuk menenangkan namja bertubuh tegap berkulit gelap didepannya ini. Minho memang tipe pria idaman. Kulitnya yang gelap membuat Ia terlihat sexy, juga bentuk wajah yang sempurna, mata bulat yang menambah ketampanannya, dan tubuhnya juga cukup tinggi. Sikap dan sifatnya baik, pembawaannya juga tenang. Kalau begitu, yeoja mana yang tidak terpikat dengan seorang Choi Minho?


"Entahlah, Kibum.." ucap Minho sambil membuang napas berat. Kini Ia sedang membereskan bekas makan malam, dibantu Kibum yang sedang mencuci piring.


"Tapi kau menerima tawaran ku atau tidak?" Tanya Kibum yang kini sudah duduk di samping Minho yang sedang menonton siaran televisi. Minho hanya diam, dia sedang mencari acara yang bagus malam ini setidaknya Ia berharap ada siaran Piala Dunia.


"Tidak, aku tidak mau. Kalau aku kalah, aku bisa kurus kering selama sebulan. Perut ku ini masih perlu asupan yang bergizi, otak ku juga harus diberi nutrisi, kau tahu." Jawab Minho tanpa melihat kearah Kibum.


"Ah, baiklah.. ya sudah kalau tidak mau, aku tidur duluan, ne? Hoamh-, jaljayong, Mino-ya." kata Kibum yang sudah berjalan pergi meninggalkan Minho sendiri di ruang tv. Minho masih belum mengantuk. Matanya masih segar. Beruntunglah besok tidak ada kelas pagi jadi bangun siang sekalipun tidak masalah, pikirnya. Tiba-tiba Ia terbayang wajah yeoja yang tadi Ia temui di perpustakaan hari ini. Yeoja berwajah oriental yang cantik, kata Minho dalam hati. Ya, yeoja itu memang cantik seandainya saja Minho memiliki keberanian seperti Kibum, dia pasti sudah mengetahui nama yeoja cantik berwajah oriental itu.


Jam sudah menunjukkan pukul 11.45 malam, mata dan tubuh Minho mulai tidak kuat untuk melawan gravitasi. Ia pun mematikan tv dan berjalan dengan wajah terkantuk-kantuk menuju kamarnya. Menghempaskan tubuhnya keatas ranjang dan mengatakan sesuatu dengan nada parau, "semoga saja aku bisa berkenalan dengannya, walau hanya dalam mimpi..."



TBC.. 
terimakasih buat yang udah mau bacaaa^^

fyi: nama Miku Hatsune itu diambil dari salah satu tokoh anime vocaloid.